Buletin At-Tauhid edisi ke 40 Tahun X
Memang perkara hati adalah perkara yang sangat sulit dijaga terutama masalah ikhlas. Seseorang bisa jadi mencari dunia bertopengkan agama, sedangkan agama menjadi korban untuk dunia. Atau sudah ikhlas di awal-awal beramal, akan tetapi di pertengahan amal bisa jadi niat tercampur riya’, dan ia tidak berusaha melawan riya tersebut.
Karenanya, seorang ulama, Sufyan Ats Tsauri rahimahullah berkata, “Tidaklah aku berusaha untuk mengobati sesuatu yang lebih berat daripada meluruskan niatku, karena niat itu senantiasa berubah-ubah” (lihat Jami’ Al ‘Ulum wal Hikam, hal. 18)
Pengertian riya’
Ulama menjelaskan berbagai macam pengertian riya’, di mana intinya adalah melakukan ibadah bukan untuk tujuan beribadah itu sendiri (yakni meraih ridha Allah-red), melainkan tujuan dunia atau selain Allah.
Ulama ahli tafsir, Al Qurthubi menjelaskan, “Hakikat riya’ adalah mencari apa yang ada di dunia dengan ibadah. Dan pada asalnya, riya’ adalah mencari tempat di hati manusia” (lihat Tafsir Al Qurthubi, 20/144)
Beberapa bahaya Riya’
Bahaya riya’ sangat banyak, kami sebutkan saja beberapa di antaranya:
1.Menghapus pahala amal
Orang yang riya’ pahala amalnya akan sia-sia dan tidak bernilai. Sebagaimana orang yang bersedekah, tetapi hanya mengharapkan pujian dari manusia sebagai orang yang dermawan.
- Riya lebih berbahaya bagi manusia dari fitnah Dajjal, padahal fitnah dajjal merupakan fitnah yang besar, dan setiap nabi memperingatkan umatnya akan bahaya Dajjal
Dari Abu Sa’id Al Khudri, beliau berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah keluar menemui kami dan kami sedang mengingatkan akan (bahaya) Al Masih Ad Dajjal.
Lantas beliau bersabda, “Maukah kukabarkan pada kalian apa yang lebih aku takutkan bagi kalian menurutku dibanding dari fitnah Al Masih Ad Dajjal?” “Iya”, para sahabat berujar.
Beliau pun bersabda, “Syirik khofi (syirik yang samar) di mana seseorang shalat lalu ia perbagus shalatnya agar dilihat orang lain.” (HR. Ibnu Majah. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa haditsnya hasan)
- Riya’ –sekalipun syirik kecil- dosanya lebih besar dibandingkan dosa-dosa besar selain kesyirikan, sehingga pelakunya adalah orang yang pertama kali dimasukkan ke neraka
Berikut hadits yang menceritkan bahwa orang yang berperang jihad karena riya’, menuntut ilmu dan mengajar agama karena riya’, dan sadaqah karena riya’, mereka pertama kali masuk neraka :
Dari Abi Hurairah radhiyallahu ‘anhu, ia berkata, “Aku mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sesungguhnya manusia pertama yang diadili pada hari kiamat adalah orang yang mati syahid di jalan Allah. Dia didatangkan dan diperlihatkan kepadanya kenikmatan-kenikmatan (yang diberikan di dunia), lalu ia pun mengenalinya. Allah bertanya kepadanya : ‘Amal apakah yang engkau lakukan dengan nikmat-nikmat itu?’ Ia menjawab : ‘Aku berperang semata-mata karena Engkau sehingga aku mati syahid.’ Allah berfirman : ‘Engkau dusta! Engkau berperang supaya dikatakan seorang yang gagah berani. Memang demikianlah yang telah dikatakan (tentang dirimu).’ Kemudian malaikat diperintahkan agar menyeret orang itu atas mukanya (tertelungkup), lalu dilemparkan ke dalam neraka.
Berikutnya orang (yang diadili) adalah seorang yang menuntut ilmu dan mengajarkannya serta membaca Al Qur`an. Ia didatangkan dan diperlihatkan kepadanya kenikmatan-kenikmatannya, maka ia pun mengakuinya. Kemudian Allah menanyakannya: ‘Amal apakah yang telah engkau lakukan dengan kenikmatan-kenikmatan itu?’ Ia menjawab: ‘Aku menuntut ilmu dan mengajarkannya, serta aku membaca Al Qur`an hanyalah karena Engkau.’ Allah berkata : ‘Engkau dusta! Engkau menuntut ilmu agar dikatakan seorang ‘alim (yang berilmu) dan engkau membaca Al Qur`an supaya dikatakan (sebagai) seorang qari’ (pembaca Al Qur`an yang baik). Memang begitulah yang dikatakan (tentang dirimu).’ Kemudian malaikat diperintahkan agar menyeretnya di atas mukanya dan melemparkannya ke dalam neraka.
Berikutnya (yang diadili) adalah orang yang diberikan kelapangan rezeki dan berbagai macam harta benda. Ia didatangkan dan diperlihatkan kepadanya kenikmatan-kenikmatannya, maka ia pun mengenalinya (mengakuinya). Allah bertanya : ‘Apa yang engkau telah lakukan dengan nikmat-nikmat itu?’ Dia menjawab : ‘Aku tidak pernah meninggalkan shadaqah dan infaq pada jalan yang Engkau cintai, melainkan pasti aku melakukannya semata-mata karena Engkau.’ Allah berfirman : ‘Engkau dusta! Engkau berbuat yang demikian itu supaya dikatakan seorang dermawan (murah hati) dan memang begitulah yang dikatakan (tentang dirimu).’ Kemudian malaikat diperintahkan agar menyeretnya di atas mukanya dan melemparkannya ke dalam neraka.’”
Dan masih banyak lagi bahaya riya’ yang lainnya.
Beberapa penyebab timbulnya riya’
Riya’ dapat timbul karena hatinya memang tidak ikhlas dan bukan hati yang berjiwa hanif, yang mencari kebenaran dan ridha Allah semata.
Di antara sebabnya yaitu:
- Senang mendapat pujian dan sanjungan atau sering mencari pujian manusia
- Takut terhadap celaan manusia
- Rakus dan tamak terhadap rezeki, nikmat dan kedudukan orang lain.
Nasib amal ibadah terkait dengan riya’
Amal ibadah terkait dengan riya’ ada beberapa rincian:
Pertama:
Sejak awal ibadah memang tujuannya adalah riya’ dan tidak ikhlas. Ini jelas amalnya tidak diterima
Kedua:
Riya’ datang di tengah-tengah amal ibadah. Ini ada dua kemungkinan:
- Ibadah yang tercampur riya’ namun tidak terkait dengan ibadah yang lain
Misalnya mau menyumbangkan uang Rp 1.000.000. Ia merencanakan Rp 500.000 pertama kali disumbangkan untuk pesantren, lalu sisa Rp 500.000 untuk fakir miskin. Ketika sumbangan pertama ikhlas dan kedua tidak, maka dinilai sesuai dengan niatnya (yakni shadaqah yang pertama tetap sah meskipun shadaqah yang kedua tidak ikhlas, disebabkan dua shadaqah tersebut bukan merupakan satu rangkaian ibadah, tetapi masing-masing berdiri sendiri –red)
- Ibadah awal riya’ berkaitan dengan ibadah akhirnya
Misalnya rak’aat pertama shalat, dijalani dengan ikhlas, dan raka’at keduanya tidak ikhlas. Maka ini dirinci :
- Jika ia berusaha melawan riya’ tersebut, maka insya Allah mendapat pahala
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sesungguhnya, Allah memaafkan dari umatku apa yang diucapkan oleh jiwanya (betikan hati) selama belum diamalkannya1 atau diucapkannya (dengan lisan)”
- Jika ia tidak berusaha melawan, bahkan menikmati riya’ tersebut, amal shalatnya bisa tidak diterima semuanya (karena raka’at pertama dan raka’at kedua masih dalam satu rangkaian ibadah shalat –red)
Ketiga:
Rasa senang mendengar pujian datang setelah selesai ibadah yang telah dikerjakan dengan ikhlas. Ini tidak mempengaruhi ibadah tersebut dan ibadahnya tetap sah. Bahkan jika muncul rasa senang akibat telah melaksanakan ketaatan, maka ini bukan termasuk riya’, akan tetapi kabar gembira yang disegerakan bagi kaum muslimin.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Itu adalah kabar gembira yang disegerakan untuk seorang mukmin.” (lihat Majmu’ Fatawa wa Rasail Fadhilatusy Syaikh Ibnu Utsaimin)
Demikian semoga bermanfaat.
Penulis : Ustadz dr. Raehanul Bahraen
Muroja’ah : Ustadz Abu Salman, B.I.S
Ziyadah : Beginilah Para Salaf Menghindari Riya’
- Al Hasan Al Bashri mengatakan, “Ada orang yang telah menghafalkan Al Qur’an namun tetangganya tidak tahu. Ada juga yang telah memahami banyak persoalan agama namun orang lain tidak tahu. Ada juga yang berdiri lama untuk shalat di rumahnya namun orang yang ada di sekitarnya tidak tahu. Sungguh, saya telah bertemu dengan sekelompok orang yang jika mereka mampu melakukan amalan secara sembunyi-sembunyi, mereka tidak akan pernah melakukannya di depan umum”
- Al A’masy mengatakan, “Hudzaifah pernah menangis dalam shalatnya. Setelah selesai shalat, ia kemudian menoleh. Ternyata ada orang lain di belakangnya. Ia pun mengatakan, ‘Kamu jangan beritahu siapa-siapa (tentang tangisanku tadi)!’ ”
- Muhammad bin Wasi’ mengatakan, “Ada orang yang selalu menangis (karena takut kepada Allah) selama 20 tahun, namun istrinya tidak tahu sama sekali”
- Bakr bin Maa‘iz mengatakan, “Ar Rabi’ tidak pernah shalat sunnah di masjid kecuali sekali saja”
- Dari Sufyan, dikisahkan bahwa Ar Rabi’ bin Khutsaim jika kedatangan tamu sedangkan ia sedang membaca Al Qur’an, maka ia menutupi Al Qur’an nya dengan bajunya
- Abu Hamzah Ats Tsumaliy mengatakan, “ ‘Ali bin Al Husain dahulu memanggul sekarung roti di malam hari (agar tidak terlihat orang) lalu bersedekah dengannya. Ia mengatakan, ‘Sesungguhnya sedekah sembunyi-sembunyi bisa meredakan amarah Allah ‘Azza wa Jalla’ “
- Bustham bin Harits mengatakan, “Apabila Ayyub terenyuh hatinya (karena ketaqwaaan) hingga menggenanglah air mata di pelupuk matanya, ia akan menyembunyikan tangisannya di depan teman-temannya. Ia pun menutup hidungnya seolah sedang pilek. Jika khawatir akan menangis, ia bangkit dan menjauh dari teman-temannya (agar tangisannya tidak diketahui)”
Seperti itulah keadaan para salaf dalam menjaga keikhlasan dan menjauhi riya’. Kita berdo’a kepada Allah sebagaimana do’a Imam Ahmad ketika diberitahu sanjungan manusia kepada beliau, “Aku memohon kepada Allah agar Dia tidak menjadikan kita orang-orang yang gemar riya’ “ .
Wallahul muwaffiq.